UJI EFEK ANALGETIK EKSTRAK RUMPUT TEKI (CYPERUS ROTUNDUS L.) PADA TIKUS PUTIH
JANTAN GALUR WISTAR (RATTUS NOVERGICUS)
TEST ANALGESIC EFFECT NUT EXTRACT (CYPERUS ROTUNDUS L.) ON WHITE MALE WISTAR (RATTUS NOVERGICUS)
Endah
Dwi Lestari
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Borneo Lestari
Jl. Kelapa Sawi 08 Bumi Bekat
Kel. Sungai Besar Banjarbaru Kalsel
Email: endah883@gmail.com
ABSTRAK
Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Rumput teki (Cyperus
rotundus L.) mengandung flavonoid yang berpotensi untuk mengurangi rasa
nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya efek analgetik
dari ekstrak rumput teki pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar. Rumput teki atau
yang memiliki bahasa latin Cyperus
rotundus L. merupakan salah satu jenis rumput semu menahun. Tinggi tanaman
rumput teki (Cyperus rotundus L.)
dapat mencapai 10 cm hingga mencapai 100 cm. Rumput ini sangat mudah untuk kita
temukan seperti di sawah, halaman rumah, dan lain-lain. Biasanya rumput teki (Cyperus rotundus L.) biasa tumbuh di
ketinggian 1 m – 1000 m diatas permukaan laut. Batang rumputnya berbentuk
segitiga (Truangularis) dan tajam.
Kata kunci: analgetik, rumput teki, nyeri
ABSTRACT
Pain is
defined as a sensory and emotional experience that is not associated with
tissue damage. Nut grass (Cyperus rotundus L.) is traditionally used as
a pain reliever. The objectives of this research were to find out analgesic
effect of nut grass extract on white male wistar. Nut grass or has latin Cyperus rotundus L. is one kind of pseudo grass chopped. Plant height nut
grass (Cyperus rotundud L.) can reach
10 cm to 100 cm. This grass is very easy to find as in the fields, yard,
etc. Usually grass nut (Cyperus
rotundus L.) grow in 1m – 1000m on the sea surface. The rod is triangular (Truangularis) and sharp.
Key
word: analgesic, nut grass, pain
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Rumput
teki atau yang memiliki bahasa latin Cyperus
rotundus L. merupakan salah satu jenis rumput semu menahun. Tinggi tanaman
rumput teki (Cyperus rotundus L.)
dapat mencapai 10 cm hingga mencapai 100 cm. Rumput ini sangat mudah untuk kita
temukan seperti di sawah, halaman rumah, dan lain-lain. Biasanya rumput teki (Cyperus rotundus L.) biasa tumbuh di
ketinggian 1 m – 1000 m diatas permukaan laut. Batang rumputnya berbentuk
segitiga (Truangularis) dan tajam.
Jenis
batang atau habitus tumbuhan dari rumput teki adalah herba atau terna (rumput-rumputan)
. Batang tumbuhan jenis ini lunak mengandung
banyak air, berbuku-buku atau tidak. Arah tumbuh dari tumbuhan rumput teki (Cyperus rotundus L.
) ialah tegak (erectus) karena batang tegak,
tumbuh lurus keatas. Contoh lain dari arah tumbuh batang yang tegak adalah
papaya (Carica papaya), percabangan
pada rumput teki (Cyperus rotundus L.
) adalah monopodial. Cara percabangan
monopodial yaitu jika batang pokok selalu tampak jelas karena lebih besar dan
lebih panjang / lebih cepat pertumbuhannya dari pada cabng-cabangnya.
1.2 Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
rumput teki dapat mengobati nyeri?
2.
Apa
saja yang terkandung dalam rumput teki sehingga dapat digunakan sebagai obat
antinyeri?
1.3 Tujuan
penulisan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana rumput teki dapat menyembuhkan nyeri.
2.
Untuk
mengetathui apa saja yang terkandung dalam rumput teki sehingga dapat digunakan
sebagai obat antinyeri.
BAB
II
ISI
2.1 Morfologi
rumput teki
Rumput teki tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian
1000 m di atas permukaan laut. Umumnya rumput teki tumbuh liar di Afrika
Selatan, Korea, Cina, Jepang, Taiwan, Malaysia, Indonesia, dan Kawasan Asia
Tenggara. Rumput teki banyak tumbuh di tempat terbuka atau tidak terkena sinar
matahari secara langsung seperti tumbuh di lahan pertanian yang tidak terlalu
kering, ladang, kebun, tegalan, pinggir jalan, yang hidup sebagai gulma karena
sangat susah untuk diberantas.
Rumput teki banyak ditemukan pada tempat yang menerima
curah hujan lebih dari 1000 mm pertahun yang memiliki kelembapan 60–85%. Suhu
terbaik untuk pertumbuhan rumput teki adalah suhu dengan rata - rata 25 ̊C, pH
tanah untuk menumbuhkan rumput teki berkisar antara 4,0 – 7,5.
Klasifikasi rumput teki (Cyperus rotundus L.)
Divisi: Spermatophyta
Sub divisi: Angiospermae
Kelas: Dicotiledoneae
Bangsa: Cyperales
Suku: Cyperaceae
Marga: Cyperus
Jenis: Cyperus
rotundus
Akar
Akar Rumput teki(Cyperus rotundus L.) merupakan sistem perakaran
serabut, akar rumput teki memiliki banyak percabangan dan akar rumput teki
memiliki banyak anak cabang akar, akar rumput teki memiliki rambut-rambut
halus. Serta tumbuh memanjang dan menyebar di dalam tanah. (Gembong,2005)
Batang
Batang rumput teki merupakan batang triangularis karena batangnya berbentuk segitiga, sifat batang
tumbuhan yaitu calamus atau mending, sifat permukaannya licin (leavis).arah
tumbuh batang tegak lurus (erectus),dengan percabangan batang monopodial semu karena memiliki percabangan yang hampir sama
sehingga sulit membedakannya. Tidak ada kambium gabus.Penebalan sekunder tidak
ada (dengan ikatan pembuluh senyawa dalam Gahnia). (Gembong,2005)
Daun
Daun Rumput teki(Cyperus rotundus L.) berbangun daun garis,
licin, tidak berambut, warna permukaan atas hijau tua sedangkan permukaan bawah
hijau muda, mempunyai parit yang membujur di bagian tengah, ujungnya agak
runcing, lebih pendek dari batang yang membawa bunga, lebarnya 2-6 mm. (Gembong,2005)
Bunga
Bunga Rumput teki(Cyperus rotundus L.) memiliki bulir
longgar terbentuk di ujung batang, braktea dua sampai empat, tidak rontok,
panjangnya lebih kurang sama atau melebihi panjang perbungaan, bercabang utama
tiga sampai sembilan yang menyebar, satu bulir berbunga10-40. (Gembong,2005)
Buah
Buah Rumput teki(Cyperus rotundus L.) berbentuk bulat telur
berisi tiga, panjangnya kurang lebih 1,5 mm, buah rumput teki memiliki warna
coklat kehitam-hitaman. Buah rumput teki tersusun berselang-seling sedikit
bertumpang-tindih dan merapat ke sumbu, buah rumput teki berbentuk bulat telur
dan lepes. (Gembong,2005)
Biji
Biji Rumput teki(Cyperus rotundus L.) terdiri dari 10-40 buliran
yang tersusun berselang-seling sedikit bertumpang-tindih dan merapat ke sumbu,
biji berbentuk bulat telur dan lepes, panjangnya kurang lebih 3 mm, berwarna
coklat kemerah-merahan, benang sari dan putik tersembul keluar. (Gembong,2005)
Manfaat rumput teki
Khasiat dari umbi rumput
teki secara farmakologi dan biologi yaitu sebagai anti-candida, anti-inflamasi,
antidiabetes, sitoprotektif, antimutagenik, antimikroba, antibakteri,
antioksidan, sitotoksik, dan apoptosis, serta analgesik antipiretik untuk tanaman ini (Lawal dan
Adebola 2009).
Manfaat rumput teki yang
lain yaitu obat untuk mempercepat pematangan bisul, obat cacing, pelembut kulit,
peluruh dahak, peluruh haid. Rimpang rumput teki telah banyak dimanfaatkan
masyarakat yang ada di berbagai daerah secara tradisional yang digunakan
sebagai obat, bentuk rebusan digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit
mulut dengan cara dijadikan obat kumur, panas, disentri, obat cacingan. Selain
itu, rumput teki dapat digunakan juga sebagai air pencuci anti keringat, serta
akar yang sudah menjadi bubuk dapat digunakan untuk mengobati sakit gigi dan
obat borok. Selain itu manfaat dari rumput teki dapat digunakan untuk
menghilangkan rasa sakit (analgesik), arbortus (keguguran) (Wijayakusuma,
2000).
Rumput teki sebagai analgetik
Teki terutama umbinya merupakan salah satu tanaman obat yang dapat
digunakan untuk mengurangi rasa nyeri (Sudarsono dkk., 1996). Umbi teki
mempunyai kandungan kimia berupa minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, polifenol,
resin, amilum, tanin, triterpen, d-glukosa, d-fruktosa dan gula tak mereduksi
(Murnah, 1995; Sudarsono dkk.,1996). Kandungan minyak atsiri umbi teki sebesar
0,43% dalam 25 gram berat kering umbi teki (Hellyana, 1997). Fungsi minyak
atsiri bagi manusia antara lain sebagai bahan campuran obat sakit gigi, obat
gosok, antiseptik, bahan wangi-wangian dan analgetik (Turner, 1965).
Khasiat umbi teki sebagai analgetik, kemungkinan karena kandungan minyak
atsirinyayang cukup besar. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian yang
telah dilakukan yaitu tentang khasiat minyak atsiri kencur sebagai analgetik
(Hariyadi, 1989 dalam Astuti dan Pudjiasttuti, 1996) dan oleh Winarno dkk.
(1996) yang hasilnya adalah bahwa minyak atsiri kencur dapat memberikan efek
analgetik pada konsentrasi 3,45%; 6,9%; 13,8%; 27,6% dengan metode geliat pada
mencit, sedangkan dengan metode termik didapat bahwa minyak atsiri dengan
konsentrasi13,8% dan 27,6% menunjukkan adanya kenaikan nilai ambang nyeri.
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan efek analgetik dari
ekstrak umbi teki ini karena adanya interaksi efek darikandungan kimia yang
lain seperti flavonoidnya dan hal ini telah dibuktikan dari penelitian yang
dilakukan oleh Nurdiana dkk. (2000) menggunakan ekstrak kasar dan ekstrak
flavonoid daun wungu pada tikus yang menyatakan bahwa salah satu kandungan daun
wungu yang diduga mempunyai efek analgetik adalah flavonoidnya, sedangkan efek
analgetik ekstrak kasar lebih kuat daripada ekstrak flavonoidnya. Efek
analgetik yang lebih kuat ini diduga karena ada kandungan kimia lain di dalam
ekstrak kasar ini yang mempunyai efek analgetik. Laporan penelitian dari
Purwaningsih (1999) dalam Nurdiana dkk. (2000) menyebutkan bahwa ekstrak
alkaloid daun wungu mempunyai efek analgetik pada tikus. Penelitian yang
dilakukan oleh Pudjiastuti dkk. (1996) tentang efek analgetik daun sembung didapatkan
hasil bahwa kandungan senyawa terpennya bersifat analgetik. Jadi, khasiat umbi
teki sebagai analgetik karena kandungan senyawa-senyawa kimia yang ada di
dalamnya yaitu minyak atsiri, flavonoid dan triterpen. Salah satu sifat minyak
atsiri dan terpen dapat digunakan sebagai analgetik (Trease dan Evans, 1978).
2.2 Nyeri
Nyeri adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan perasaan tidak
menyenangkan atau tidak nyaman yang bersifat subyektif dan perasaan ini akan
terasa berbeda pada setiap yang mengalaminya karena hanya orang tersebutlah
yang dapat menjelaskan apa yang sedang dirasakannya.
Nyeri merupakan
mekanisme untuk melindungi tubuh terhadap suatu gangguan dan kerusakan di
jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik dan kejang otot dengan
pembebasan mediator nyeri yang meliputi prostaglandin, bradikinin, serotonin,
histamin, ion kalium dan asetilkolin (Mutschler,1991; Guyton, 1995; Tjay dan
Rahardja, 2002).
Nyeri permukaan
dapat terjadi apabila ada rangsangan secara kimiawi, fisik, mekanik pada kulit,
mukosa, dan akan terasa nyeri di daerah rangsang. Nyeri pertama terbentuk
setelah tertusuk pada kulit dan cepat hilang setelah berakhirnya rangsang
dengan pembebasan mediator nyeri yaitu bradikinin, serotonin, histamin, ion
kalium dan asetilkolin. Nyeri kedua bersifat membakar yang lambat hilang dengan
pembebasan prostaglandin sebagai mediator yang spesifik untuk nyeri yang
berlangsung lama (Satyanegara, 1978; Mutschler, 1991).
Nyeri pertama
dihantarkan oleh serabut nyeri jenis A delta yaitu serabut saraf dengan
pembungkus lapisan bermielin, garis tengah 2-5m. Serabut nyeri jenis A delta
ini menghantarkan isyarat nyeri lebih cepat dari saraf perifer ke medulla
spinalis karena terjadi penghantaran rangsang secara saltatoris (gaya melompat)
yaitu dari satu nodus Ranvier ke nodus Ranvier lain, antar nodus ini dilewati
oleh garis aliran listrik dan dengan penghantaran saltatoris ini dimungkinkan
suatu laju penghantaran yang lebih cepat sampai dengan 120 m/det (Satyanegara,
1978; Mutschler, 1991; Guyton, 1995).
Nyeri viseral
merupakan nyeri yang berasal dari otot dan jaringan ikat organ-organ dalam,
berlangsung lama dengan pembebasan prostaglandin. Salah satu nyeri dalam yang
paling sering terjadi adalah nyeri abdomen yang terjadi pada tegangan organ
abdomen, kejang otot polos dalam abdomen, aliran darah ke abdomen kurang dan
penyakit yang disertai radang. Isyarat nyeri viseral yang berasal dari dalam
rongga toraks dan abdomen dihantarkan melalui serabut jenis C yaitu serabut
saraf tak bermielin dengan garis tengah 0,4-1,2 m. Serabut saraf jenis C ini
menghantarkan isyarat nyeri lebih lambat karena pengantaran rangsang pada
serabut saraf yang tak bermielin terjadi secara sinambung dengan laju
penghantaran 0,5-15 m/det (Mutschler, 1991; Guyton, 1995; Ganong, 1999).
Reseptor nyeri di
dalam kulit dan jaringan lainnya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini
tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan-jaringan
dalam tertentu (Guyton, 1994). Reseptor lainnya yang sensitif terhadap suhu
panas atau dingin yang ekstrem disebut reseptor nyeri termosensitif yang
meneruskan nyeri kedua melalui serabut C yang tak bermielin. Reseptor ini
mempunyai respon terhadap suhu dari 30oC-45oC dan pada suhu diatas 45oC, mulai
terjadi kerusakan jaringan dan sensasinya berubah menjadi nyeri (Mutschler,
1991; Guyton, 1994; Tjay dan Rahardja, 2002).
Faktor penyebab
nyeri
1.
Usia.
Usia
dalam hal ini merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri terutama
pada anak dan orang dewasa (Potter & Perry (1993).
Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan
untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat
menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak,
mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri
kepada orang tua atau perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga
perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri,
2007).
2.
Terlalu memaksakan otot saat beraktivitas
fisik secara berlebih, cepat, dan terlalu sering.
3.
Otot terkilir dan tegang karena cedera atau
trauma.
4.
Ketegangan atau stres yang terjadi pada salah
satu atau beberapa bagian tubuh.
2.3 Tikus putih jantan galur wistar (RATTUS NOVERGICUS)
Tikus Putih (Rattus novergicus) hewan
laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan
diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan
mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan
laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap
suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya
(Smith and Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam
penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan,
toksisitas, metabolisme, embriologi maupun dalam mempelajari tingkah laku
(Malole dan Pramono, 1989).Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal dari Asia
Tengah dan penggunaannya telah menyebar luas di seluruh dunia (Malole dan
Pramono, 1989).
Menurut Robinson (1979), taksonomi tikus laboratorium adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animal
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
(Craniata)
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Infrakelas :
Eutharia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Superfamili :
Muroidea
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies
: Rattus sp.
Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat
dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat
berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat
mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar
suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).Tikus Putih (Rattus norvegicus) Terdapat
beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galurgalur
tersebut antara lain : Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans, dan
Holdzman (Kohn dan Bartold, 1984). Dalam penelitian ini digunakan
galur Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil
dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Malole dan Pramono, 1989).
Siklus hidup tikus putih (Rattus norvegicus) jarang lebih dari tiga
tahun, berat badan pada umur empat minggu dapat mencapai 35-40 g dan setelah
dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus
jantan tua dapat mencapai bobot badan 500 g, tetapi tikus betina jarang lebih
dari 350 g (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kebutuhan pakan bagi seekor tikus
setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya jika pakan
tersebut berupa pakan kering dan dapat ditingkatkan sampai 15% dari bobot
tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan minum seekor
tikus setiap hari kira-kira 15-30 ml air. Jumlah ini dapat berkurang jika pakan
yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus
Sprague- Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati
15-20 g untuk jantan dan 10-15 g untuk betina (National Research Council,
1978).Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada kondisi dimana
pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas maka tikus dapat
mengurangikonsumsi energinya, tetapi jika nafsu makan berlebih, tikus dapat
meningkatkan penggantian energi. Adapun kriteria yang umum digunakan dalam
memperkirakan kecukupan nutrisi makanan antara lain pertumbuhan, reproduksi,
pola tingkah laku, kesediaan nutrisi, aktivitas enzim, histologi jaringan dan
kandungan asam amino serta protein dalam jaringan (National Research Council,
1978).
Pakan yang diberikan pada tikus umumnya tersusun dari komposisi alami
dan mudah diperoleh dari sumber daya komersial. Namun demikian, pakan yang
diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat.
Pakan ideal untuk tikus yang sedang tumbuh harus memenuhi kebutuhan zat makanan
antara lain protein 12%, lemak 5%, dan serat kasar kira-kira 5%, harus cukup
mengandung vitamin A, vitamin D, asam linoleat, tiamin, riboflavin, pantotenat,
vitamin B12, biotin, piridoksin dan kolin serta mineral-mineral tertentu (Smith
dan Mangkoewidjojo, 1988).
Menurut McDonald (1980), protein pakan yang diberikan pada tikus harus
mengandung asam amino essensial yaitu : Arginin, Histidin, Isoleusin, Leusin,
Methionin, Fenilalanin, Treonin, Tryptofan, dan Valine. Selain nutrisi, hal
lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tikus putih sebagai hewan
percobaan adalah perkandangan yang baik. Kandang yang digunakan untuk
pemeliharaan tikus biasanya berupa kotak yang terbuat dari metal atau plastik.
Tutup untuk kandang berupa kawat dengan ukuran lubang 1,6 cm2. Alas kandang
terbuat dari guntingan kertas, serutan kayu, serbuk gergaji atau tongkol jagung
yang harus bersih, tidak beracun, tidak menyebabkab alergi dan kering. Temeperatur
ideal kandang yaitu 18-27⁰C atau rata-rata 22⁰C dan kelembaban realtif 40-70% (Malole dan Pramono,
1989).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a.
Ekstrak rumput teki mengandung flavonoid yang
memiliki aktivitas sebagai anti nyeri/ analgetik
b.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka dalam
tulisan ini dijelaskan apakah ekstrak rumput teki (Cyperus rotundul L.) memiliki aktivitas farmakologi yang kuat
sebagai analgetik yang diujikan kepada tikus putih jantan galur wistar.
3.2 Saran
a.
Diperlukan penelitian lebih
lanjut mengenai efek antipiretik Ekstrak umbi rumput teki (Cyperus rotundus
L)berbagai konsentrasi.
b.
Diperlukan penelitian lebih
lanjut mengenai efek antipiretik Ekstrak umbi rumput teki (Cyperus rotundus
L)dengan waktu pengamatan lebih lama.
c.
Diperlukan penelitian lebih
lanjut tentang manfaat flavonoid yang terkandung dalam Ekstrak umbi rumput
teki(Cyperus rotundus L) sebagai obat herbal lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, N dan Pudjiastuti. 1996. Penelitian
khasiat biji ketumbar (Coriandrum sativum L.)
sebagai analgesik pada mencit. Prosiding Simposium Penelitian Bahan
Obat Alami VIII. Bogor: Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO)
dengan Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami (PERHIPBA).
Guyton,
A.C. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Penerjemah:
Andrianto, P.
Jakarta:
EGC.
Hellyana,
R.H. 1997. Aktivitas Antimikrobia Minyak Atsiri Buah Kemukus dan Umbi Rumput
Teki
terhadap Pseudomonas
solanacearum, Xanthomonas oryzane,
Alternaria porri, Fusarium batatis Secara in
Vitro. [Skripsi].
Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.
Lawal,
O.A. dan Adebola, O. 2009. Chemical
Composition Of The Essential Oils Of Cyperus
Rotundus L. From South Africa. Journal
Molecules 2009, 14, hal 2909-2917.
Malole
MBM, Pramono USC. 1989. Penggunaan
Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium.
Pusat
antar universitas. Institut Pertanian Bogor
Mutsclher,
E. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan
Toksikologi. Edisi kelima. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
P 177
Nurdiana;
Kirana, C; Arifatin, R dan Mulyohadi. 2000. Uji efek analgesik ekstrak kasar
dan
ekstrak
flavonoid daun wungu (Graftophyllum pictum Grift) pada tikus (Rattus
rattus Wister). Jurnal Kedokteran Yarsi 8 (2): 56-57.
Robinson, T. 1991. “The Basic of Higher
Plants. 6th Edition”. Terjemahan.
Satyanegara, M.D. 1978. Teori dan Terapi Nyeri. Jakarta: Pantja
Simpati.
Sudarsono, A. Pudjiarinto, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, M.
Dradjad, S. Wibowo, dan
Ngatidjan. 1996. Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian, Sifat-Sifat dan
Penggunaan. Yogyakarta: Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT) UGM.
Tjay,
T.H., dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek
Sampingnya. Ed. 5. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia.
Tjitrosoepomo,
Gembong. 2005. Morfologi tumbuhan.
Yogyakarta: Gadjah mada university.
Trease,
G.E. dan W.C. Evans. 1978. Pharmacognosy. London: Billiere Tindall.
Turner,
R.A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. New York: Academic Press.
Winarno, W., Y. Astuti , dan D. Sundari. 1996. Informasi tentang
fitokimia dan efek farmakologi
tanaman kencur (Kaempferia
galanga L.). Warta Tumbuhan Obat 3 (2): 48-51
