Powered By Blogger

Sabtu, 17 Juni 2017

Uji Efek Anagetik Ekstrak Rumput Teki



UJI EFEK ANALGETIK EKSTRAK RUMPUT TEKI (CYPERUS ROTUNDUS L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (RATTUS NOVERGICUS)

TEST ANALGESIC EFFECT NUT EXTRACT (CYPERUS ROTUNDUS L.) ON WHITE MALE WISTAR (RATTUS NOVERGICUS)

Endah Dwi Lestari
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari
Jl. Kelapa Sawi 08 Bumi Bekat Kel. Sungai Besar Banjarbaru Kalsel

ABSTRAK
Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Rumput teki (Cyperus rotundus L.) mengandung flavonoid yang berpotensi untuk mengurangi rasa nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya efek analgetik dari ekstrak rumput teki pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar. Rumput teki atau yang memiliki bahasa latin Cyperus rotundus L. merupakan salah satu jenis rumput semu menahun. Tinggi tanaman rumput teki (Cyperus rotundus L.) dapat mencapai 10 cm hingga mencapai 100 cm. Rumput ini sangat mudah untuk kita temukan seperti di sawah, halaman rumah, dan lain-lain. Biasanya rumput teki (Cyperus rotundus L.) biasa tumbuh di ketinggian 1 m – 1000 m diatas permukaan laut. Batang rumputnya berbentuk segitiga (Truangularis) dan tajam.
Kata kunci: analgetik, rumput teki, nyeri

ABSTRACT
Pain is defined as a sensory and emotional experience that is not associated with tissue damage. Nut grass (Cyperus rotundus L.) is traditionally used as a pain reliever. The objectives of this research were to find out analgesic effect of nut grass extract on white male wistar. Nut grass or has latin Cyperus rotundus L. is one kind of pseudo grass chopped. Plant height nut grass (Cyperus rotundud L.) can reach 10 cm to 100 cm. This grass is very easy to find as in the fields, yard, etc. Usually grass nut (Cyperus rotundus L.) grow in 1m – 1000m on the sea surface. The rod is triangular (Truangularis) and sharp.
Key word: analgesic, nut grass, pain










































BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Rumput teki atau yang memiliki bahasa latin Cyperus rotundus L. merupakan salah satu jenis rumput semu menahun. Tinggi tanaman rumput teki (Cyperus rotundus L.) dapat mencapai 10 cm hingga mencapai 100 cm. Rumput ini sangat mudah untuk kita temukan seperti di sawah, halaman rumah, dan lain-lain. Biasanya rumput teki (Cyperus rotundus L.) biasa tumbuh di ketinggian 1 m – 1000 m diatas permukaan laut. Batang rumputnya berbentuk segitiga (Truangularis) dan tajam.
Jenis batang atau habitus tumbuhan dari rumput teki adalah herba atau terna (rumput-rumputan) . Batang tumbuhan jenis ini lunak mengandung banyak air, berbuku-buku atau tidak. Arah tumbuh dari tumbuhan rumput teki (Cyperus rotundus L. ) ialah tegak (erectus) karena batang tegak, tumbuh lurus keatas. Contoh lain dari arah tumbuh batang yang tegak adalah papaya (Carica papaya), percabangan pada rumput teki (Cyperus rotundus L. ) adalah monopodial. Cara percabangan monopodial yaitu jika batang pokok selalu tampak jelas karena lebih besar dan lebih panjang / lebih cepat pertumbuhannya dari pada cabng-cabangnya.
1.2  Rumusan masalah
1.      Bagaimana rumput teki dapat mengobati nyeri?
2.      Apa saja yang terkandung dalam rumput teki sehingga dapat digunakan sebagai obat antinyeri?
1.3  Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana rumput teki dapat menyembuhkan nyeri.
2.      Untuk mengetathui apa saja yang terkandung dalam rumput teki sehingga dapat digunakan sebagai obat antinyeri.



BAB II
ISI

2.1  Morfologi rumput teki

Rumput teki tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Umumnya rumput teki tumbuh liar di Afrika Selatan, Korea, Cina, Jepang, Taiwan, Malaysia, Indonesia, dan Kawasan Asia Tenggara. Rumput teki banyak tumbuh di tempat terbuka atau tidak terkena sinar matahari secara langsung seperti tumbuh di lahan pertanian yang tidak terlalu kering, ladang, kebun, tegalan, pinggir jalan, yang hidup sebagai gulma karena sangat susah untuk diberantas.     
Rumput teki banyak ditemukan pada tempat yang menerima curah hujan lebih dari 1000 mm pertahun yang memiliki kelembapan 60–85%. Suhu terbaik untuk pertumbuhan rumput teki adalah suhu dengan rata - rata 25 ̊C, pH tanah untuk menumbuhkan rumput teki berkisar antara 4,0 – 7,5.

Klasifikasi rumput teki (Cyperus rotundus L.)
Divisi: Spermatophyta
Sub divisi: Angiospermae
Kelas: Dicotiledoneae
Bangsa: Cyperales
Suku: Cyperaceae
Marga: Cyperus
Jenis: Cyperus rotundus

Akar
Akar Rumput teki(Cyperus rotundus L.) merupakan sistem perakaran serabut, akar rumput teki memiliki banyak percabangan dan akar rumput teki memiliki banyak anak cabang akar, akar rumput teki memiliki rambut-rambut halus. Serta tumbuh memanjang dan menyebar di dalam tanah. (Gembong,2005)

Batang
Batang rumput teki merupakan batang triangularis karena batangnya berbentuk segitiga, sifat batang tumbuhan yaitu calamus atau mending, sifat permukaannya licin (leavis).arah tumbuh batang tegak lurus (erectus),dengan percabangan batang monopodial semu  karena memiliki percabangan yang hampir sama sehingga sulit membedakannya. Tidak ada kambium gabus.Penebalan sekunder tidak ada (dengan ikatan pembuluh senyawa dalam Gahnia). (Gembong,2005)

Daun
Daun Rumput teki(Cyperus rotundus L.) berbangun daun garis, licin, tidak berambut, warna permukaan atas hijau tua sedangkan permukaan bawah hijau muda, mempunyai parit yang membujur di bagian tengah, ujungnya agak runcing, lebih pendek dari batang yang membawa bunga, lebarnya 2-6 mm. (Gembong,2005)

Bunga
Bunga Rumput teki(Cyperus rotundus L.) memiliki bulir longgar terbentuk di ujung batang, braktea dua sampai empat, tidak rontok, panjangnya lebih kurang sama atau melebihi panjang perbungaan, bercabang utama tiga sampai sembilan yang menyebar, satu bulir berbunga10-40. (Gembong,2005)

Buah
Buah Rumput teki(Cyperus rotundus L.) berbentuk bulat telur berisi tiga, panjangnya kurang lebih 1,5 mm, buah rumput teki memiliki warna coklat kehitam-hitaman. Buah rumput teki tersusun berselang-seling sedikit bertumpang-tindih dan merapat ke sumbu, buah rumput teki berbentuk bulat telur dan lepes. (Gembong,2005)

Biji
Biji Rumput teki(Cyperus rotundus L.) terdiri dari 10-40 buliran yang tersusun berselang-seling sedikit bertumpang-tindih dan merapat ke sumbu, biji berbentuk bulat telur dan lepes, panjangnya kurang lebih 3 mm, berwarna coklat kemerah-merahan, benang sari dan putik tersembul keluar. (Gembong,2005)
Manfaat rumput teki
Khasiat dari umbi rumput teki secara farmakologi dan biologi yaitu sebagai anti-candida, anti-inflamasi, antidiabetes, sitoprotektif, antimutagenik, antimikroba, antibakteri, antioksidan, sitotoksik, dan apoptosis, serta analgesik  antipiretik untuk tanaman ini (Lawal dan Adebola 2009).
Manfaat rumput teki yang lain yaitu obat untuk mempercepat pematangan bisul, obat cacing, pelembut kulit, peluruh dahak, peluruh haid. Rimpang rumput teki telah banyak dimanfaatkan masyarakat yang ada di berbagai daerah secara tradisional yang digunakan sebagai obat, bentuk rebusan digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit mulut dengan cara dijadikan obat kumur, panas, disentri, obat cacingan. Selain itu, rumput teki dapat digunakan juga sebagai air pencuci anti keringat, serta akar yang sudah menjadi bubuk dapat digunakan untuk mengobati sakit gigi dan obat borok. Selain itu manfaat dari rumput teki dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit (analgesik), arbortus (keguguran) (Wijayakusuma, 2000).

Rumput teki sebagai analgetik
Teki terutama umbinya merupakan salah satu tanaman obat yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri (Sudarsono dkk., 1996). Umbi teki mempunyai kandungan kimia berupa minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, polifenol, resin, amilum, tanin, triterpen, d-glukosa, d-fruktosa dan gula tak mereduksi (Murnah, 1995; Sudarsono dkk.,1996). Kandungan minyak atsiri umbi teki sebesar 0,43% dalam 25 gram berat kering umbi teki (Hellyana, 1997). Fungsi minyak atsiri bagi manusia antara lain sebagai bahan campuran obat sakit gigi, obat gosok, antiseptik, bahan wangi-wangian dan analgetik (Turner, 1965).
Khasiat umbi teki sebagai analgetik, kemungkinan karena kandungan minyak atsirinyayang cukup besar. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan yaitu tentang khasiat minyak atsiri kencur sebagai analgetik (Hariyadi, 1989 dalam Astuti dan Pudjiasttuti, 1996) dan oleh Winarno dkk. (1996) yang hasilnya adalah bahwa minyak atsiri kencur dapat memberikan efek analgetik pada konsentrasi 3,45%; 6,9%; 13,8%; 27,6% dengan metode geliat pada mencit, sedangkan dengan metode termik didapat bahwa minyak atsiri dengan konsentrasi13,8% dan 27,6% menunjukkan adanya kenaikan nilai ambang nyeri.
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan efek analgetik dari ekstrak umbi teki ini karena adanya interaksi efek darikandungan kimia yang lain seperti flavonoidnya dan hal ini telah dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Nurdiana dkk. (2000) menggunakan ekstrak kasar dan ekstrak flavonoid daun wungu pada tikus yang menyatakan bahwa salah satu kandungan daun wungu yang diduga mempunyai efek analgetik adalah flavonoidnya, sedangkan efek analgetik ekstrak kasar lebih kuat daripada ekstrak flavonoidnya. Efek analgetik yang lebih kuat ini diduga karena ada kandungan kimia lain di dalam ekstrak kasar ini yang mempunyai efek analgetik. Laporan penelitian dari Purwaningsih (1999) dalam Nurdiana dkk. (2000) menyebutkan bahwa ekstrak alkaloid daun wungu mempunyai efek analgetik pada tikus. Penelitian yang dilakukan oleh Pudjiastuti dkk. (1996) tentang efek analgetik daun sembung didapatkan hasil bahwa kandungan senyawa terpennya bersifat analgetik. Jadi, khasiat umbi teki sebagai analgetik karena kandungan senyawa-senyawa kimia yang ada di dalamnya yaitu minyak atsiri, flavonoid dan triterpen. Salah satu sifat minyak atsiri dan terpen dapat digunakan sebagai analgetik (Trease dan Evans, 1978).

2.2  Nyeri
Nyeri adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan perasaan tidak menyenangkan atau tidak nyaman yang bersifat subyektif dan perasaan ini akan terasa berbeda pada setiap yang mengalaminya karena hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan apa yang sedang dirasakannya.
Nyeri merupakan mekanisme untuk melindungi tubuh terhadap suatu gangguan dan kerusakan di jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik dan kejang otot dengan pembebasan mediator nyeri yang meliputi prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium dan asetilkolin (Mutschler,1991; Guyton, 1995; Tjay dan Rahardja, 2002).
Nyeri permukaan dapat terjadi apabila ada rangsangan secara kimiawi, fisik, mekanik pada kulit, mukosa, dan akan terasa nyeri di daerah rangsang. Nyeri pertama terbentuk setelah tertusuk pada kulit dan cepat hilang setelah berakhirnya rangsang dengan pembebasan mediator nyeri yaitu bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium dan asetilkolin. Nyeri kedua bersifat membakar yang lambat hilang dengan pembebasan prostaglandin sebagai mediator yang spesifik untuk nyeri yang berlangsung lama (Satyanegara, 1978; Mutschler, 1991).
Nyeri pertama dihantarkan oleh serabut nyeri jenis A delta yaitu serabut saraf dengan pembungkus lapisan bermielin, garis tengah 2-5m. Serabut nyeri jenis A delta ini menghantarkan isyarat nyeri lebih cepat dari saraf perifer ke medulla spinalis karena terjadi penghantaran rangsang secara saltatoris (gaya melompat) yaitu dari satu nodus Ranvier ke nodus Ranvier lain, antar nodus ini dilewati oleh garis aliran listrik dan dengan penghantaran saltatoris ini dimungkinkan suatu laju penghantaran yang lebih cepat sampai dengan 120 m/det (Satyanegara, 1978; Mutschler, 1991; Guyton, 1995).
Nyeri viseral merupakan nyeri yang berasal dari otot dan jaringan ikat organ-organ dalam, berlangsung lama dengan pembebasan prostaglandin. Salah satu nyeri dalam yang paling sering terjadi adalah nyeri abdomen yang terjadi pada tegangan organ abdomen, kejang otot polos dalam abdomen, aliran darah ke abdomen kurang dan penyakit yang disertai radang. Isyarat nyeri viseral yang berasal dari dalam rongga toraks dan abdomen dihantarkan melalui serabut jenis C yaitu serabut saraf tak bermielin dengan garis tengah 0,4-1,2 m. Serabut saraf jenis C ini menghantarkan isyarat nyeri lebih lambat karena pengantaran rangsang pada serabut saraf yang tak bermielin terjadi secara sinambung dengan laju penghantaran 0,5-15 m/det (Mutschler, 1991; Guyton, 1995; Ganong, 1999).
Reseptor nyeri di dalam kulit dan jaringan lainnya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan-jaringan dalam tertentu (Guyton, 1994). Reseptor lainnya yang sensitif terhadap suhu panas atau dingin yang ekstrem disebut reseptor nyeri termosensitif yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut C yang tak bermielin. Reseptor ini mempunyai respon terhadap suhu dari 30oC-45oC dan pada suhu diatas 45oC, mulai terjadi kerusakan jaringan dan sensasinya berubah menjadi nyeri (Mutschler, 1991; Guyton, 1994; Tjay dan Rahardja, 2002).

Faktor penyebab nyeri
1.      Usia.
Usia dalam hal ini merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa (Potter & Perry (1993).
Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).
2.      Terlalu memaksakan otot saat beraktivitas fisik secara berlebih, cepat, dan terlalu sering.
3.      Otot terkilir dan tegang karena cedera atau trauma.
4.      Ketegangan atau stres yang terjadi pada salah satu atau beberapa bagian tubuh.

2.3  Tikus putih jantan galur wistar (RATTUS NOVERGICUS)
Tikus Putih (Rattus novergicus) hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya (Smith and Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi maupun dalam mempelajari tingkah laku (Malole dan Pramono, 1989).Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal dari Asia Tengah dan penggunaannya telah menyebar luas di seluruh dunia (Malole dan Pramono, 1989).
Menurut Robinson (1979), taksonomi tikus laboratorium adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata (Craniata)
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Infrakelas : Eutharia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Superfamili : Muroidea
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus sp.
Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).Tikus Putih (Rattus norvegicus) Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galurgalur tersebut antara lain : Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans, dan Holdzman (Kohn dan Bartold, 1984). Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Malole dan Pramono, 1989).
Siklus hidup tikus putih (Rattus norvegicus) jarang lebih dari tiga tahun, berat badan pada umur empat minggu dapat mencapai 35-40 g dan setelah dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai bobot badan 500 g, tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 g (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa pakan kering dan dapat ditingkatkan sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan minum seekor tikus setiap hari kira-kira 15-30 ml air. Jumlah ini dapat berkurang jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus Sprague- Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15-20 g untuk jantan dan 10-15 g untuk betina (National Research Council, 1978).Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada kondisi dimana pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas maka tikus dapat mengurangikonsumsi energinya, tetapi jika nafsu makan berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Adapun kriteria yang umum digunakan dalam memperkirakan kecukupan nutrisi makanan antara lain pertumbuhan, reproduksi, pola tingkah laku, kesediaan nutrisi, aktivitas enzim, histologi jaringan dan kandungan asam amino serta protein dalam jaringan (National Research Council, 1978).
Pakan yang diberikan pada tikus umumnya tersusun dari komposisi alami dan mudah diperoleh dari sumber daya komersial. Namun demikian, pakan yang diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat. Pakan ideal untuk tikus yang sedang tumbuh harus memenuhi kebutuhan zat makanan antara lain protein 12%, lemak 5%, dan serat kasar kira-kira 5%, harus cukup mengandung vitamin A, vitamin D, asam linoleat, tiamin, riboflavin, pantotenat, vitamin B12, biotin, piridoksin dan kolin serta mineral-mineral tertentu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Menurut McDonald (1980), protein pakan yang diberikan pada tikus harus mengandung asam amino essensial yaitu : Arginin, Histidin, Isoleusin, Leusin, Methionin, Fenilalanin, Treonin, Tryptofan, dan Valine. Selain nutrisi, hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tikus putih sebagai hewan percobaan adalah perkandangan yang baik. Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan tikus biasanya berupa kotak yang terbuat dari metal atau plastik. Tutup untuk kandang berupa kawat dengan ukuran lubang 1,6 cm2. Alas kandang terbuat dari guntingan kertas, serutan kayu, serbuk gergaji atau tongkol jagung yang harus bersih, tidak beracun, tidak menyebabkab alergi dan kering. Temeperatur ideal kandang yaitu 18-27C atau rata-rata 22C dan kelembaban realtif 40-70% (Malole dan Pramono, 1989).




















BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
a.       Ekstrak rumput teki mengandung flavonoid yang memiliki aktivitas sebagai anti nyeri/ analgetik
b.      Berdasarkan hal-hal tersebut maka dalam tulisan ini dijelaskan apakah ekstrak rumput teki (Cyperus rotundul L.) memiliki aktivitas farmakologi yang kuat sebagai analgetik yang diujikan kepada tikus putih jantan galur wistar.

3.2  Saran
a.       Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antipiretik Ekstrak umbi rumput teki (Cyperus rotundus L)berbagai konsentrasi.
b.      Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antipiretik Ekstrak umbi rumput teki (Cyperus rotundus L)dengan waktu pengamatan lebih lama.
c.       Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang manfaat flavonoid yang terkandung dalam Ekstrak umbi rumput teki(Cyperus rotundus L) sebagai obat herbal lainnya.











DAFTAR PUSTAKA
Astuti, N dan Pudjiastuti. 1996. Penelitian khasiat biji ketumbar (Coriandrum sativum L.)
sebagai analgesik pada mencit. Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII. Bogor: Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) dengan Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami (PERHIPBA).
Guyton, A.C. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Penerjemah: Andrianto, P.
Jakarta: EGC.
Hellyana, R.H. 1997. Aktivitas Antimikrobia Minyak Atsiri Buah Kemukus dan Umbi Rumput
Teki terhadap Pseudomonas solanacearum, Xanthomonas oryzane, Alternaria porri, Fusarium batatis Secara in Vitro. [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.
Lawal, O.A. dan Adebola, O. 2009. Chemical Composition Of The Essential Oils Of Cyperus
Rotundus L. From South Africa. Journal Molecules 2009, 14, hal 2909-2917.
Malole MBM, Pramono USC. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium.
Pusat antar universitas. Institut Pertanian Bogor
Mutsclher, E. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Edisi kelima. Bandung:
Institut Teknologi Bandung. P 177
Nurdiana; Kirana, C; Arifatin, R dan Mulyohadi. 2000. Uji efek analgesik ekstrak kasar dan
ekstrak flavonoid daun wungu (Graftophyllum pictum Grift) pada tikus (Rattus rattus Wister). Jurnal Kedokteran Yarsi 8 (2): 56-57.
Robinson, T. 1991. “The Basic of Higher Plants. 6th Edition”. Terjemahan.
Satyanegara, M.D. 1978. Teori dan Terapi Nyeri. Jakarta: Pantja Simpati.
Sudarsono, A. Pudjiarinto, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, M. Dradjad, S. Wibowo, dan
Ngatidjan. 1996. Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian, Sifat-Sifat dan Penggunaan. Yogyakarta: Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT) UGM.
Tjay, T.H., dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingnya. Ed. 5. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Tjitrosoepomo, Gembong. 2005. Morfologi tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah mada university.
Trease, G.E. dan W.C. Evans. 1978. Pharmacognosy. London: Billiere Tindall.
Turner, R.A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. New York: Academic Press.
Winarno, W., Y. Astuti , dan D. Sundari. 1996. Informasi tentang fitokimia dan efek farmakologi
tanaman kencur (Kaempferia galanga L.). Warta Tumbuhan Obat 3 (2): 48-51